Sudah beberapa minggu ini gue ngeliat, sepertinya dia memperhatikan gue. Gue nggak akan secepat ini ngambil kesimpulan, kecuali memang intuisi gue udah nangkep sinyal-sinyal ‘bawah sadar’ (ini istilah gue sendiri) dari dia. Bukannya gue sok tahu, ke geer-an, atau overvalued sama dia, tapi, ehmm... kalian semua mungkin nggak percaya, tapi gue punya sedikit kemampuan buat nebak isi hati seseorang cuma dari ekspresinya.Well, itu cuma sedikit kesan yang gue terima beberapa minggu ini. “Tapi lo bisa aja salah, kan?”, kadang gue mikir begitu. Tapi setelah gue tahu siapa tu cewek, gue mulai sedikit merinding (kalau nggak mau dibilang setengah nggak percaya). Gue, yang sering asah telinga ini, pernah denger celoteh anak-anak kelas sebelah kalau dia itu cewek yang konon dikejar-kejar hampir semua cowok dikampus ini. Gue nggak bilang semua cowok, karena memang ada beberapa yang nggak ambil bagian dalam hal ini. Salah satunya adalah gue.Gue bukan tipe cowok mainstream, yang terjebak dalam arus mayoritas. Gue nggak deketin tu cewek karena gue sadar diri, gue bukan siapa-siapa. Gue nggak terlalu suka dengan yang namanya kompetisi. Apalagi buat deketin cewek. Lama-lama kalian juga ngerti kenapa gue seperti ini. Tapi, gue masih normal! Gue bukan maho. Dan dia, walau masuk kategori cewek tipe gue, bukan jadi alasan gue capek-capek deketin dia. Gue menghargai probabilitas. Dan gue menemukan probabilitas gue sama dia hampir nol, sampai pada saat itu, gue lupa harinya, pertama kali gue berada dalam jarak yang paling dekat (menurut gue) dengan dia.Gue lagi jalan kegedung sebelah untuk masuk mata kuliah bahasa inggris, sewaktu gue berpapasan dengan dia. Kemudian, tatapan matanya lurus ke gue, ngeliat gue dengan senyum yang agak ditahan. Gue sedikit salting dan parno. Dia natap mata gue agak lama, karena dia udah dari jauh ngeliat gue yang lagi jalan. Gue masih curi-curi pandang aja. Sampai jarak kita berdua makin dekat, dia makin intens ngeliatin gue. Gue celingak-celinguk. Nggak ada orang lain disekitar gue yang mungkin dilihatnya. Apa dia matanya juling karena pandangannya meleset beberapa derajat ke makhluk aneh didepannya? Ehm, sebagai gambaran : gue waktu itu belum mandi. Rambut gue kribo kusut n ketombean. Pake baju yang udah seminggu nggak dicuci. Aha! Gue ngerti! Dia mau ketawa ngeliat penampilan gue. Sh*t! Gue maki-maki diri sendiri. Sebagai manusia biasa yang memiliki rasa ingin narsis, gue seharusnya mandi dulu tadi sebelum kekampus. Atau mungkin gue harus nyapa dia “ada yang salah dengan gue?”. Ups, tapi gue nggak bisa melakukan itu. Gue terlalu parno, gue terlalu grogi, atau gue terlalu terpesona karena senyum dan lesung pipinya memborbardir pusat kesadaran gue? Sudah 2 minggu sejak kejadian itu. Gue makin sering ngeliat dia (atau curi-curi pandang) ngeliatin gue. Pas gue lagi hotspot-an, lagi makan di kantin, atau lagi jalan dikoridor gedung. Gue gak respon. Tepatnya, gue takut ngerespon. Selalu ada alasan bagi gue ketika dia ngeliat gue. Gue selalu berpikir dia ngeliat orang lain lah, ngeliat arah lainlah, atau masih berniat ngetawain gue karena penampilan gue kemarin. Dari sini gue udah mulai curiga. Tapi gue masih dalam stance gue, berdiam diri. Beberapa orang mungkin akan bilang gue goblok tak tertahankan karena menyia-nyiakan kesempatan dilihat (atau bahkan mungkin ditaksir) cewek secantik dia. Simpan anggapan kalian yang menuduh gue abnormal. Gue ini orang introverted. Intrapersonal. Penyendiri. Orientasi kepribadian gue kedalam, bukan keluar. itu sebabnya gue punya sedikit masalah dalam komunikasi. Apalagi dengan lawan jenis. Ini salah satu kecerdasan teman, jadi jangan langsung berkata gue kuper, katrok, ndeso, gagap, atau bahkan maho.*** Namanya Malta Ikanova. Gue tahu dari pusat informasi mahasiswa. Nama yang unik dan eksotis. Sialnya, gue suka sekali sama nama-nama kayak gitu. Hemm, sejak dia ngeliatin gue, gue jadi penasaran siapa dia sebenarnya. Cewek yang mengganggu ‘ritual malam’ gue, menyendiri digenteng. Mengganggu hubungan gue dengan bintang-gemintang, karena tiba-tiba konstelasi orion diatas gue berubah jadi konstelasi malta. Gue bisa aja nanya ke temen-temen. Tapi gue kayaknya nggak dan nggak akan pernah nanya ke temen sekelas, atau teman gue lainnya. Alasannya simpel, gw nyaman kalau orang lain nggak terlalu tahu siapa gue, kesukaan gue, aktifitas gue sekarang. Semakin sedikit mereka tahu tentang gue, semakin nyaman gue. Ini kontras dengan orang-orang yang ingin dirinya diekspos, merasa yang punya kampus karena bokapnya donatur yang bantu perbaiki jalanan didepan rektorat. Yang ingin segala aktifitasnya terpantau oleh civitas academica. Pakaiannya menunjukkan eksistensinya diantara mahasiswa lain. Sedikit gambaran tentang Malta. Rambut -gue selalu tempatkan rambut di urutan pertama- hitam pendek seleher. Wajahnya manis, hidungnya mancung tapi tanggung. Lesungnya senjata mematikan yang mungkin dimilikinya. Bibirnya... ah, gue nggak punya referensi bibir yang bagus. Kalau kalian sulit membayangkan, ini tips dari gue. Pertama, kalian bayangkan cewek yang paling cantik menurut kalian. Trus bayangin rambutnya pendek. Yah, kira-kira seperti itu wajahnya. Gue nggak terlalu bisa ngegambarin cewek secara sempurna. Yang jelas tipikalnya -rambut pendek, dan wajah manis- itu adalah benar-benar tipe gue. Persis gebetan gue waktu SMA yang wajahnya jadi referensi dari definisi cantik menurut gue yang gue pakai sampai sekarang. Pembawaannya menyenangkan.Gue memang nggak pernah ngomong sama dia, tapi gue sering ngeliat dia bareng temen-temennya. Wajahnya begitu ceria. Gue hampir nggak pernah lihat dia kekampus pasang muka cemberut. Beda dengan gue yang kekampus Cuma pake kemeja nggak disetrika plus jeans yang tiga bulan nggak dicuci, ditambah wajah seakan tidak ada hari esok, yang hanya menunggu dosen selesai ceramah, lalu pulang. Hal lain yang gue tahu tentang Malta, dia masih jomblo. Gue tahu dari ‘gosip club’ dikampus gue. Ririn cs. Bukannya gue ikut-ikutan ngegosip, tapi gue –nggak tahu apa gue seberuntung ini- sering dapat ‘frekwensi nyasar’. Gue tinggal jalan dikoridor dekat taman, maka banyak informasi kabar burung yang gue terima. Selanjutnya intuisi gue yang berbicara. Kabarnya juga, Aris kakak tingkat gue, episentrum dan referensi ketampanan dikampus gue, katanya pernah nembak Malta. Tapi ditolak. Oh My God, apa yang kurang dari Aris? Ganteng, tinggi, jago basket, penerima beasiswa, mahasiswa teladan, bahkan calon ketua BEM fakultas tahun depan. Gue mulai berpikir yang aneh-aneh. Otak kanan gue mulai ngawur, otak konspirasi gue kambuh. Gue mulai berpikir Malta itu lesbian. Atau urat estetikanya terhadap lawan jenis putus, atau bahkan alien dari mars. Kalau urat estetikanya putus, kenapa dia ngeliatin gue? Gue jadi agak yakin kalau dia makhluk mars yang mau culik gue untuk diteliti. Gue sering baca cerita-cerita kayak begitu di internet. Ditambah lagi wajahnya yang cantik. Gue ngerasa nggak mungkin ada cewek secantik itu. Itu pasti rekayasa genetika yang membuat parasnya sialan cantiknya. Nah, gue mulai mikir yang bukan-bukan. Yang jelas, kalau Aris yang menurut gue punya kualifikasi ‘sempurna’ untuk dapetin cewek seperti Malta aja ditolak, maka cowok seperti apa lagi yang bisa menaklukkannya? Apa cewek seperti Malta suka sama cowok kayak gue? Kribo, nggak terlalu peduli. Tapi gue yakin kalau itu benar dia suka sama gue, dia akan bingung sendiri dengan gue. Ingat, gue introverted. Gue bisa menciptakan dunia lain di selubung neuron gue. Gue partikular, bukan komunal.*** Kalau gue playboy –atau gue mulai agresif- gue udah pasti nanya nomor hpnya waktu tadi dia nanya ruangan, sekaligus nanya gue dari kelas mana. Gue menganggap itu ‘gerakan maju’ dari dia. Itu berarti dia mulai memajukan front beberapa langkah. Apa itu berarti anggapan gue tempo hari benar? Gue masih memegang teguh teori probabilitas. Mungkin saja dia memang sedang nyari ruangan. Tapi kenapa dia nanya kelas gue? Kita satu angkatan di jurusan yang sama. Teknisnya, seharusnya dia tahu gue dari kelas mana karena kita lumayan sering berpapasan. Apa karena dia sengaja membuka jalur komunikasi dengan gue? Kalau benar, ini sesuatu yang bisa gue bilang hebat. Selama ini, cewek yang nyapa gue dikampus paling banter ya teman sekelas, itupun nggak semuanya. Oh iya, ditambah dosen perempuan pastinya. Gue nggak pernah buka jalur komunikasi dengan cewek sebelumnya. Tapi Malta tiba-tiba menyapa gue, nanya kelas gue. Apa gue mimpi? “goblok lu!” gue mikir dalam hati. Tentu saja dia nanya begitu. Bukannya dia anaknya supel? Pembawaannya selalu ceria? Dia pasti cepat banget akrab dengan semua orang, termasuk ‘mahasiswa pinggiran’ kayak gue. Ya ya, untuk saat ini gue sedikit senang (kalau nggak mau dibilang loncat kegirangan). Sebagai seorang intrapersonal yang sering kesasar dilabirin jiwa, komunikasi dengan orang lain, apalagi dengan lawan jenis seperti mendapatkan petunjuk keluar dari labirin itu, atau seperti orang yang terdampar dipulau tak berpenghuni, yang mendapat sinyal dari helikopter penyelamat. Gue makin sering ketemu Malta. Tapi dasar gue, walau gue papasan sama dia, dan dia senyumin gue, gue malah nggak respon total. Ya, ngerespon sih iya, tapi dalam kadar yang minim. Senyum yang gue tahan. Tapi, darimana gue tahu dia suka sama gue? Jawabannya ada di toko buku, cari rak buku tentang kepribadian atau pengetahuan populer. Kalian akan menemukan buku yang ngebahas bahasa tubuh. Hah?! Apalagi nih? Ya, jawabannya sesimpel itu. Bahasa tubuh. Omongan verbal hanya mencerminkan 30% perasaannya. Selebihnya ditunjang dengan bahasa tubuhnya. Dari situ gue tahu dia suka sama gue. Senyumnya yang ditahan, cara ngomongnya yang dipilih dan dengan jelas diucapkan, caranya ngerapiin rambut waktu dia ngeliat gue, dia rapiin baju waktu kebetulan gue pasang tampang tolol lewat didepan dia, sampai mimik wajahnya waktu ngeliat gue...sigh, dari sini gue tahu kalau gue beruntung beli buku “belajar bahasa tubuh”...***Hari ini gue agak kaget waktu ngelewatin lorong kampus. Gue ngeliat Malta dengan seorang cowok. Mereka lagi ngobrol berdua. Wajah Malta sangat ceria. Sementara cowok itu waktu gue liat tampangnya... sigh, mukanya mirip dengan artis Korea yang sering gue liat di binder anak-anak cewek dikampus. Siapa dia? Pacar baru Malta? Bukannya dia suka sama gue? (kegeeran). tapi waktu gue lewatin mereka berdua dan gue sengaja pasang tampang tolol seperti biasanya, pura-pura nggak ngeliat kalau disamping gue ada cewek yang gue suka –ini namanya protokol pura-pura nggak kenal dan nggak butuh- , Malta, tiba-tiba, atau mungkin reflek merapikan rambutnya yang sebetulnya udah rapi banget, kemudian memutus pembicaraannya sejenak dengan si artis Korea untuk sekedar ngeliat gue –seenggaknya dalam pikiran gue begitu- dan kembali memasang wajah penuh arti. Gue sendiri cuma lihat sekilas, terus gue ngeloyor pergi.Apa Malta memang masih suka sama gue? Buktinya dia masih ngeliatin gue. Atau dia memang udah jadian sama si mirip artis korea itu. Atau mungkin itu teman SMA Malta? Ukh, membayangkan probabilitas memang membuat gue agak tenang. Sejak gue ngeliat Malta dekat dengan cowok mirip artis korea itu, gue jadi agak sangsi mau deketin dia. Deketin dia?! Bukannya lo bilang lo nggak berani?! Ya, karena gue memang begini orangnya. Mungkin kalian menganggap gue nggak serius, penakut, bukan pejuang cinta, dan sederet kata-kata merendahkan lainnya. Gue kembali ke teori probabilitas. Muka gue yang mirip jamban atau muka artis korea kah yang dipilih Malta? Kalau dia orang waras tentu si mirip artis korealah yang dipilih. Kalau dia milih gue, berarti anggapan gue kalau dia makhluk Mars yang mau culik gue benar. Tapi cinta harus diperjuangkan bro! Iya iya... sigh, gue nggak tahu mau alasan apalagi. Mungkin kalian benar kalau gue memang bukan pejuang cinta. Apalagi Malta makin jarang gue liat dikampus. God, apa benar dia udah jadian sama si mirip artis korea itu? Pokoknya tumben-tumbenan beberapa hari ini gue nggak ngeliat dia. Asem juga rasanya. Gue anggap Malta seperti pelangi. Indah dan eksotis. Sayangnya dia cuma datang sebentar. Setelah itu hilang. Kira-kira begitu sekarang dalam bayangan gue. Tapi sisi baiknya, nggak ada yang mengganggu ‘ritual malam’ gue. nggak ada yang mengganggu hubungan gue dengan bintang-bintang. Itu anggapan gue sebelumnya. Tapi, sialan! Gue malah makin nggak bisa lupain Malta begitu aja. Senyumnya hinggap ke ubun-ubun gue tadi malam, waktu gue lagi enak-enaknya menyendiri digenteng. Sayup-sayup gue dengar suaranya bergema di hati gue. sepertinya otak gue, nggak tahu kenapa, mengeksekusi bagian –mungkin yang paling indah menurut gue- ketika Malta ngomong sama gue tempo hari. Ini mulai menyesakkan. Gue duduk meluk lutut. Kepala gue mendongak keatas. Apa yang akan diceritakan langit dan bintang-bintang sama gue malam ini? Tolong ceritakan tentang Malta. Gue lagi kena penyakit rindu. Aarrgghh! Kenapa tiba-tiba gue cemen begini sih? Mirip lagu cinta murahan yang samasekali nggak gue suka. Minggu ini jurusan gue ngadain kemah di gunung. Sebenarnya gue males banget ikutan. Tapi, gue dapat kabar burung. “Malta ntar ikut nggak ya kemah?” Astro, teman sekelas gue yang hobinya membual memulai pembicaraan“Kayaknya sih iya. Menurut lo Ga?” jawab Hari.“nggak tahu deh. Tapi gue berharap dia ikutan. Biar kita-kita pada semangat kemahnya, hihihi” Angga cekikian.Tiba-tiba Ririn, si database gosip kampus gue datang dan langsung ikutan nimbrung anak-anak kelas gue. gue sendiri ada beberapa meter dari mereka. Pura-pura browsing pake laptop padahal nguping.“Eh, lagi ngumpul ngapain nih?” Ririn mulai buka suara“ini, lagi ngomongin apa benar Malta punya penyakit wasir” jawab Astro sekenanya.Anak-anak ketawa.“eh, Malta kira-kira ikut kemah nggak Rin?” tanya Angga.“ikut lah. Tadi dia bilang ke gue. katanya kemah ke gunung pasti asik”“wah wah, benar kan kata gue? hahaha” Angga senyum nggak karuan.Ririn ngeliatin dengan jijik, “ya udah, gue mau cabut dulu. See ya.” Kemudian dia ngeloyor pergi.Ini bisa jadi kesempata gue buat ngeliatin dia lagi. Ya, seenggaknya begitu. Satu yang gue catat tadi Ririn nggak nyinggung masalah apa Malta punya cowok baru atau nggak. Bisa berarti bagus, karena info semacam itu –kalau ada- pasti udah ada di database gosip satu itu. Gue ketawa sendiri. Hidup gue jadi aneh. Gue bela-belain kemah digunung Cuma buat ngeliatin Malta dan mastiin apa dia tetap ngeliatin gue dengan tatapan punuh artinya itu. *** Akhirnya sampai juga digunung setelah hampir 4 jam jalan kaki. Kasian temen-temen gue. bawa barang nggak tanggung-tanggung. Sangat beda dengan gue yang Cuma bawa tas pinggang yang isinya kolor, handuk, dan roti. Gue nggak suka ribet. Dulu gue pernah nginep dipantai nggak bawa kemah. Cuma tidur di pasir pantai. Gue rasa ini akan sama. Sebenarnya ada agenda lain yang buat gue ikut kemah selain mau ngeliat Malta. Ini erat hubungannya dengan bintang-bintang. Semua tahu, tempat yang tinggi adalah tempat observasi paling bagus. Itu sebabnya gue ikut. Nantinya gue mau nyari tempat tidur yang beratap langit. Gue nggak bawa tenda. Sengaja. Bahkan gue niatnya begadang, biar bisa terus ngeliatin polaris sampai venus menampakkan dirinya.Tapi dari tadi gue nggak liat Malta. Kemana tu cewek? Apa dia nggak jadi ikut? Ugh, gue jadi agak kecewa. Tapi rombongan anak-anak masih banyak dibawah. Mungkin dia masih ada dibawah. Bersusah-payah ngangkat barangnya yang gue taksir bejubel. Gue sampai lupa. Gue paling pertama sampai diatas. Jelas karena gue nggak bawa banyak barang, ditambah gue nggak banyak ngobrol sepanjang perjalanan. Gue bahkan lari tadi, hehe. Malam menjelang. Gue udah siap di lokasi yang menurut gue paling bagus buat ngeliat bintang. Anak-anak, kira-kira 15 meter dibawah gue. gue milih sendiri disini, buat mengakomodir rasa gue. demi menyesuaikan diri dengan kesendirian. Dari jauh gue bisa denger suara anak-anak pada berbincang dan bercanda. Begitu meriah. Malam ini entah kenapa nggak terlalu dingin. Gue sampai melepas jaket gue, lantas gue jadiin bantal. Gue tiduran begitu aja ditanah. Hangat. Pemutar musik khayalan gue lagi memutar lagu yang nggak jelas. Gue selalu suka melihat bintang. Mewakili perasaan gue terhadap alam semesta. Nggak berhenti mengagumi hasil dari penciptaan. Gue langung duduk. Kepala mendongak keatas. Gue coba pejamkan mata sejenak. Menangkap suara apapun yang bisa gue tangkap selain suara riuh anak-anak dibawah. Damai rasanya. Rasanya gue baru bersatu dengan gerakan harmoni alam semesta. Bintang-bintang ikut dalam kehampaan. Tiba-tiba gue menangkap suara nggak jauh disamping gue. arahnya dari tempat kemah anak anak. Sepertinya ada seseorang yang kesini. Sial! Pikir gue. mengganggu momen sakral gue. apa itu suara pasangan di jurusan gue yang lagi kasmaran? Lantas mencari tempat sepi untuk berbuat mesum? Tapi gue Cuma menangkap satu suara langkah kaki. Dalam diam tanpa suara. Apa itu panitia yang mau negur gue? atau... “Eh, Fino...” Kata Malta. Kalau hidung gue bisa ngeluarin darah seperti di film-film jepang, mungkin udah dari tadi keluar. Gue hampir nggak percaya! Malta! Disamping gue. Nggak jauh dari gue yang lagi duduk memandang langit. diwilayah kekuasaan sang penyendiri! Gue grogi bukan main. Apalagi dia sebut nama gue... eits, darimana dia tahu nama gue? kita belum pernah kenalan sebelumnya. Apa dia diam-diam udah tahu siapa gue, dimana kos-kosan gue, sampai kesukaan gue?! buktinya dia disini!Gue makin berpikir dia orang Mars. Dia tahu siapa gue, dan dia akhirnya nemu waktu yang tepat untuk menangkap gue. ditempat yang paling bagus untuk UFO mendarat. Gue celingak-celinguk mencari dimana command center orang Mars ini mungkin berada. Malta bingung sendiri.Waktu dia nyebut nama gue, dia sendiri seperti orang salting. Sepertinya dia nggak sadar dia nyebut nama gue. seharusnya kita kenalan dulu. Ini menguatkan hipotesis gue kalau dia benar-benar suka sama gue.“eemm...lo tahu nama gue?” gue bertanya.“hhmm...ya. dari temen lo, Astro” Malta menjawab sambil berjalan mendekat ke gue. Oh God, jantung gue dicopot aja biar nggak berdetak secepat ini. Malta begitu cantik malam ini. Dia pakai jaket abu-abu polos. Rambutnya menyembul dari tudung jaketnya. Gue nggak pernah ngeliat dia kayak begini. Wajahnya nggak pernah kena make up, tapi disitulah sebenarnya letak kecantikannya. Pada wajah polosnya.“lagi ngapain, Fino?” tanya Malta. Lagi-lagi dia nyebut nama gue penuh, nggak dipotong-potong. Ini membuat gue mau terbang.“trus kamu sendiri lagi ngapain ? nggak gabung sama anak-anak dibawah?” gue bales dengan pertanyaan. Sebisa mungkin gue nggak grogi. Kata-kata gue atur serileks mungkin. Gue nggak mau keliatan konyol didepan cewek ini.“males ah, ribut. Aku suka keheningan. Sebenarnya itu alasan aku ikutan kemah” jawab Malta. Tatapannya lurus kedepan. Dia sekarang duduk tepat disamping gue. Gue ngeliatin dia lama, kemudian gue kembali ngeliatin bintang. Gue nggak tahu kalau Malta, dibalik keceriaanya, dibelakang ‘kesempurnaannya’, ternyata seorang pribadi yang suka keheningan. Gue selalu berpikir dia nyaman disekeliling teman-temannya. Gue berpikir dia orang ekstroverted. Tapi dia memang punya sedikit keahlian introverted. Jujur, gue grogi banget. Tapi gue tahan. Oh My God, cewek yang gue suka lagi disamping gue. ngobrol dari hati-kehati dengan gue. kita ngomong dengan datar. Seakan tahu malam ini begitu sakral untuk ribut-ribut. Bintang tengah menceritakan kisahnya, dan jika begitu, diamlah dan dengarkan apa yang mereka ingin ceritakan.Malta ngeliatin gue yang masih ngeliat bintang. “Kamu sendiri? Kok nggak ngumpul sama anak-anak?” tanya Malta.“sengaja. Gue mau ngeliat bintang.” Jawab gue. gue sebenarnya mau bilang kalau gue juga suka dengan keheningan. Tapi daripada gue dikira ikut-ikutan dia, trus dikira lagi ngegombal didepan dia, jadi terpaksa gue jawab singkat.“Oh...” Malta cuma menjawab singkat. Mataya masih lurus kedepan. Beberapa menit kemudian masih kami habiskan dengan diam. Gue mau bicara banyak, tapi mulut gue kaku. Punggung gue keringetan. Gue coba pandang dia, dan seketika itu dia juga mandangin gue. mata kita bertemu. Kita sama-sama duduk memeluk lutut, dengan jarak dua jengkal. Dan saling memandang. Oh My God. Rasanya seperti disetrum. Diikat tali kasat mata. Mulut gue seperti diikat saputangan, nggak mau bicara. Detik-detik anomali itu selesai, ketika Malta menyudahinya dan kembali melihat lurus kedepan. Ekspresinya datar.“Fino...kamu mungkin tahu kalau aku sering perhatiin kamu” Malta kembali membuka pembicaraan. Kali ini mengerucut ke satu topik. Ini masalah hati.Gue diam aja.“Aku tahu kamu berbeda. Kamu nggak seperti yang lain” Malta kemudian menarik nafas panjang.“Kamu begitu misterius. Bahkan Astro pun nggak tahu dimana kos-kosan kamu”Uwaa! Gue mau pingsan! Kata-katanya “perhatiin kamu” menusuk pusat kendali otak gue, menjarah pusat kesadaran gue, dan mengacak-acak kata-kata yang rencananya akan gue lontarkan kemudian. Gue masih melongo.“Aku cuma mau kenal kamu lebih dekat, Fino” Malta berkata lirih.Inilah yang gue tunggu. Tanpa banyak kata pengantar. Malta jelas-jelas berkata kalau dia “mau kenal lebih jauh” dengan gue. darah seakan naik ke otak gue. gue bisa ngerasain kuping gue memerah. Muka gue ikutan merah. Gue malu, campur senang campur grogi.“tapi...tapi... gue rasa ini terlalu cepat, Mal” kata gue. gue masih stun.“Maksud Fino?” “eemm...beri gue waktu” gue berkata seenaknya. Hati gue yang lain berkata, “Bego! Apa susahnya sih bilang iya?”“Gue tahu siapa elo Mal. Lo cewek yang disukai cowok-cowok sekampus. Beda dengan gue yang bahkan temen gue sendiri nggak tahu dimana kosan gue. Kita beda banget Mal. Dan gue perlu waktu untuk itu.” “Aku ngerti kok” jawab Malta sambil berdiri dan membersihkan celananya. “Aku bakal nunggu. Sampai kapanpun.” Malta ngeliat gue penuh arti. Wajahnya datar. Lantas dia tersenyum manis banget dan ngeloyor pergi. Kepala gue rasanya mau meledak.Sebelum dia menghilang dibalik rerumputan, dia berkata ke gue “Aku bakal nunggu, Fino!”Gue masih kaku ditempat gue. Masih nggak percaya kalau Malta baru menawarkan hatinya ke gue. kata-katanya barusan merusakkan sistem kesadaran gue. Gue nggak tahu apa gue lagi trance atau lagi mimpi. Yang pasti, tadi itu benar-benar Malta. Bukan Makhluk Mars yang selama ini gue kira. Bintang bintang seakan tersenyum sendiri. Malam ini dia tidak bercerita, tapi melihat sepotong cerita dari anak manusia yang melihatnya bercerita tiap malam. Gue nggak bisa membedakan, apa gue lagi senang bukan main atau lagi cemas bukan main. Gue cemas atas apa yang bakal terjadi besok. Insting kesendirian gue menangkap sinyal anomali.Tapi, dia Malta. Cewek yang gue suka. Cewek pertama yang ngajak gue ngomong, hati kehati. Cewek yang berbicara lirih kalau dia mau kenal gue lebih jauh. Gue menarik nafas panjang...