Kami bertemu di chat room, ia dengan nama samarannya dan aku dengan nama samaranku. Ia tinggal di kota yang sama denganku, bekerja sebagai konsultan hukum di Jakarta dan melayani konsultasi hukum online. Kecerdasannya, itu yang membuatku tertarik padanya, dan tentunya kedewasaannya. Lalu kutunjukkan fotoku padanya dan dia menunjukkan fotonya padaku. Ia sangat cantik dalam foto hitam putih klasik memakai gaun putih sedang mencium bunga putih.
“Aku sekarang pakai kaca mata”
Aku membayangkannya dengan kaca mata.
Kami mulai bicara lebih banyak di pertemuan kedua meski masih seputar hal-hal ringan. Kami juga menentukan jadwal pertemuan kami. Ia tahu banyak tentang jazz, tapi aku yang menyaksikan langsung festival Jazz tahun ini. “Mezzonia datang langsung dari Skotlandia sesaat setelah mereka menonton pertandingan MU vs Rangers,” kataku “Daniel, pemimpinnya masih berusia delapan belas, dia pegang bass. Mereka yang jadi bintang pertunjukkan tahun ini.” Aku memberikan tanda “ ” padanya. Dia memberikan tanda yang sama padaku diikuti pertanyaan tentang band favoritnya Earth, Wind and Fire. Aku mengatakan padanya kalau Earth, Wind and Fire memukau seperti biasanya, memainkan lagu-lagu lama dan dua lagu terbarunya. Ia memberikan tanda “ ” sebelum mendadak sign out di tengah ceritaku tentang Sergio Mendes.
Kami menyukai beberapa film yang sama seperti House of Sand and Fog, Elephant dan The Sixth Sense. Dia lebih tahu banyak tentang film-film Eropa. Tetapi aku tidak terlalu suka film-film Eropa yang menurutku agak kaku. Lalu kami bertukar cerita tentang The Usual Suspects. Tentu saja bagian yang sama-sama kami suka adalah bagian akhirnya ketika Verbal Kint melenggang keluar dari kantor polisi dan dengan santai menyalakan rokoknya. Amazing! Itulah yang dia katakan untuk menunjukkan dia menyukai film itu. Selalu ada kata-kata seperti itu jika dia memuji sesuatu. Kemudian dia menyebut dan memuji salah satu film Iran berjudul Baran. Ia berkisah tentang cinta yang tidak harus memiliki, tentang pengorbanan seperti yang ditunjukkan film itu. Aku membayangkan duduk berhadapan dengannya dan mendengarkannya bercerita. Hampir satu jam dia bercerita tentang film itu sebelum lagi-lagi mendadak sign out.
Ia minta maaf karena dua kali sign out tiba-tiba. Suaminya baru saja pulang, katanya. Aku memahami hal itu. Tapi entah mengapa tiba-tiba saja kejadian seperti ini mengingatkanku pada sebuah tulisan di internet yang mengatakan bahwa sebagian besar wanita bersuami yang melakukan chatting online punya masalah dengan rumah tangganya, dan kautahu, sebagian besar dari itu punya masalah dengan suaminya. Aku menduga dia punya masalah dengan suaminya, atau mungkin suaminya yang punya masalah dengannya. Sebuah perselingkuhan-kah? Tapi aku tidak mau menyinggung masalah itu.
Aku mengirim tiga buah puisi karyaku dan mengirim sebuah cerpen keesokan harinya.
Ia memujiku. Tulisanku memikat, demikian komentarnya. Aku tersenyum ketika dia menganggapku sebagai murid O. Henry yang paling berbakat.
***
Suatu malam ia memintaku memberikan nomor selularku padanya. Melalui selular ia menceritakan tentang suaminya. Suaminya seorang pengusaha pabrik kimia dengan reputasi internasional. Beberapa tahun sebelumnya ia kerap menemani suaminya pergi ke pesta-pesta. Di tahun-tahun itu ia menjadi seorang wanita terhormat dan dihormati sehingga berada di samping suaminya seperti sedang mendampingi seorang raja. Tapi ia tidak pernah merindukan saat-saat itu kecuali cintanya pada suaminya masih sama ketika mereka pertama kali bertemu. Suaminya memiliki hubungan yang baik dengan klien-kliennya sedangkan klien terbesarnya adalah seorang wanita pengusaha pemilik industri plastik. Beberapa hari lalu suaminya bersama wanita itu, entah untuk mengurus perpanjangan kontrak baru atau urusan lain. Selama berjam-jam ia cerita tentang cinta yang dikhianati dan perasaannya yang rapuh. Ia menangis sewaktu mengatakannya. Ia menangis ketika mendengarku bicara hingga benar-benar menyentuh hatiku yang paling dalam, membuatku larut dalam kesedihannya.
“Bisakah kita bertemu?” kataku, yang menurutku lebih leluasa jika membicarakannya langsung, di samping untuk menunjukkan kesungguhanku mendengarkan perasaannya. “Mungkin pertemuan kita akan memecahkan persoalanmu. Bisakah kautentukan tanggalnya?”
Ia terdiam sebentar, tangisnya tidak lagi terdengar dan dia tidak perlu waktu lama menentukan tanggal pertemuan pertama kami, yaitu tepat dua bulan setelah perkenalan pertama kami. Ia akan mengenakan sweater coklat muda dan celana jeans, menungguku di depan air mancur patung ikan di taman kota.
Aku mempersiapkan diriku dengan mambaca beberapa referensi, bertanya pada teman dan menonton film tentang perselingkuhan. Aku cukup puas dengan yang kudapatkan. Aku berharap bisa memberikan setidaknya ketenangan untuknya. Perselingkuhan memang sesuatu yang paling ditakuti seorang istri terlebih dia mempunyai tiga anak laki-laki yang tentu saja mereka akan menjadi korban jika masalah ini tidak selesai.
Kami bertemu di hari Sabtu pagi yang cerah di awal Oktober. Aku yang pertama melihat dan mengenalinya. Aku menghampirinya dengan percaya diri dan menyapanya. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Mariam seperti yang tertulis di kartu namanya dengan gelar doktor. Usianya lima puluh lima dengan penampilan yang masih cantik dan anggun. Anak-anaknya tinggal di luar kota. Mereka biasa mengunjunginya di hari Sabtu. Tapi Sabtu itu mereka tidak datang. Semuanya berkumpul di Bandung, di rumah anak tertuanya, suaminya turut pula. Ia tidak bisa bersama mereka karena pergi menemuiku.
Di tempat yang tenang seperti taman ini dia akan mencurahkan segala perasaannya lagi padaku. Namun kali ini aku bisa melihat ekspresinya secara langsung, kesedihannya atau bahkan tangisnya. Sedangkan aku, dengan pemikiranku, akan mengatakan jalan keluarnya. Pagi itu taman belum terlalu ramai, sejuknya lebih dekat ke dingin meski matahari sudah agak tinggi. Kami duduk di bawah sebuah pohon teduh, di pinggir jalan kecil yang dilalui orang-orang untuk lari pagi.
Ia memulai pembicaraan dengan menceritakan masa kecilnya (suaranya lebih lembut dari yang pernah kudengar melalui selular), lalu tentang kehidupannya selama kuliah (senyumnya mengembang ketika menceritakan tentang cinta pertamanya) dan tentang pertemuannya dengan suaminya seperti yang pernah diceritakannya padaku. Kisah cinta mereka sangat jelas. Ia dan suaminya melalui masa-masa menderita di awal pernikahan mereka, kemudian mereka bangkit bersama hingga saat ini mereka bisa memiliki harta yang melimpah. Tapi, kebahagian mereka akan hancur dalam sekejap hanya karena sebuah perselingkuhan.
Ia mendekat padaku, memegang dua tanganku dan menatapku dengan matanya yang bening dan kilauan dari pantulan air matanya, kemudian berkata, “Sayang ... kau memikat, seperti puisi-puisimu. Ah, sekarang aku menjadi tenang setelah melihat wajahmu. Kau tidak lebih tua dari usia anak bungsuku, tapi kau lebih dewasa dari ketiga anakku”
Ia meletakkan dua tangannya di pundakku, menarik tubuhku dan mencium keningku, lalu kami berpelukan. Hanya saat itu kami bertemu. Ia tidak akan menceraikan suaminya demi aku. Di usia pernikahannya yang ke dua puluh sembilan, boleh dikatakan suaminya sangat setia padanya. Suaminya selalu mengabarkan keadaannya dan memastikan semuanya berjalan lancar. Semuanya untuk urusan bisnis. Bukan yang lain. Ia pernah menyelidiki suaminya, tapi tidak pernah menemukan tanda-tanda suaminya selingkuh. Namun meski demikian ia tidak menyesal mengenalku. Usia kami terpaut tiga puluh enam tahun, jumlah yang lumayan besar untuk seorang wanita yang jatuh cinta dengan seorang mahasiswa semester tiga.