Hari sudah menjelang malam ketika Rasyid berangkat meninggalkan rumahnya. Tas ransel hitam besar tergantung di punggung, terayun-ayun memanggul segala macam barang yang telah dipersiapkan sejak beberapa hari sebelumnya.
Sambil berjalan pelan menyusuri gang-gang sempit, ia membalas sapaan tetangga-tetangganya dengan senyuman dan jawaban sekenanya.
"Mau ke mana nih malam-malam begini?" Seorang ibu tua yang rambutnya sudah beruban semua menyapanya.
"Ada perlu sebentar, Bu," Rasyid menjawab pendek sambil tersenyum.
Penduduk kampung ini memang selalu ingin tahu segala urusan orang lain, ujarnya dalam hati. Tapi tak lama lagi aku akan punya uang cukup banyak untuk membeli sebuah rumah baru yang besar dan indah di kota, cukup besar untuk istri dan anak-anakku kelak. Ia tersenyum membayangkan semua itu.
Beban berat yang menggelayut di punggung tak dirasakannya lagi. Tanpa terasa ia telah melewati perkampungan penduduk yang padat. Di hadapannya kini terpapar jalan bebatuan dengan pesawahan yang membentang di kiri kanannya. Napasnya mulai tersengal-sengal dan peluh mulai mengucur di dahinya. Tapi semua itu tak dihiraukannya. Bayangan kehidupan nyaman yang menantinya di depan mata menambah cepat ayunan langkahnya.
Sebentar lagi, sebentar lagi... ia menyemangati dirinya sendiri.
Jam di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 23.35 ketika ia mulai memasuki kompleks pekuburan Cina tersebut. Suasana sepi mencekam. Suara burung hantu dan binatang malam lainnya hanya menambah kesunyian di tempat itu terasa semakin menggigit.
Sejenak Rasyid menghentikan langkahnya. Ia mengingat-ingat rute mana yang harus diambilnya. Kemarin siang ia sudah mendatangi pekuburan ini untuk melihat-lihat keadaan. Tapi situasi di malam hari yang gelap pekat benar-benar membuat segala sesuatunya terlihat berbeda. Lampu senter kecil yang dibawanya dari rumah tak banyak membantu.
Ia melihat berkeliling sambil memeras otak. Setelah beberapa saat ia mulai melangkahkan kakinya kembali. Kali ini dengan penuh perhitungan dan kehati-hatian. Ia tak mau kakinya tergores semak berduri atau terantuk bebatuan besar yang banyak terdapat di pekuburan itu.
Beberapa menit kemudian ia tiba di makam yang ditujunya. Sebuah makam yang kecil dan terawat. Makam itu terlihat masih baru. Kelopak bunga-bunga segar bertaburan di atasnya.
Dengan hati-hati Rasyid memanjat pagar besi yang mengitari makam. Napasnya memburu ketika ia mengangkat tubuhnya yang berat. Huh, akhirnya aku sampai juga, ujarnya sambil mengusap keringat di dahinya. Hawa dingin yang berhembus dari arah pegunungan sedikit membawa kesejukan baginya.
"Hmmm... tidak salah lagi. Ini memang makam Koh Peng Sun yang meninggal tiga hari yang lau. Kini ia akan memberikan semua hal yang kuimpi-impikan selama ini," Rasyid berkata dalam hati sambil tersenyum puas. Ia kemudian meletakkan ransel bawaannya di atas batu di samping makam sebelum ia sendiri duduk di atas batu yang sama di sisinya. Batu itu terasa dingin dan lembap, mungkin karena hujan deras yang mengguyur daerah itu siang sebelumnya. Lalu ia membuka ransel dan mengeluarkan isinya.
Beberapa menit kemudian asap putih pekat terlihat mengepul. Mulut Rasyid berkomat kamit membaca mantra sementara ia membakar lebih banyak dupa dan kemenyan, menebarkan bau semerbak di tempat itu.
Ia melirik jamnya. Sudah pukul 23.50. Dilihatnya jarum jam berdetik pelan. Sementara itu ia masih terus berkomat-kamit membaca mantra-mantra yang telah dihafalkannya.
Lima .... empat ..... tiga ..... dua ..... satu ......!
Tepat pukul 24.00!
Seketika itu pula ditancapkannya batang bambu yang dipegangnya sedari tadi tepat di tengah-tengah makam. Pekik kesakitan terdengar dari dalam makam. Rasyid tahu, itu bukan suara manusia biasa. Ia tak mempedulikannya. Sambil terus mengucapkan mantra, ia merogoh ke dalam ransel dan mengeluarkan beberapa kantong darah yang dicurinya dari rumah sakit pagi tadi, dan kini ia berusaha membuka kantong-kantong darah itu. Setelah berhasil membukanya, segera dikucurkannya cairan merah tersebut ke atas batang bambu yang tertancap di tengah makam.
Dalam sekejap darah manusia tersebut hilang terserap gundukan tanah segar. Batang bambu hijau kekuningan kini telah berubah menjadi merah.
Bau kemenyan masih mengitari tempat itu. Asapnya yang putih menari-nari memenuhi kompleks makam. Rasyid mengambil segenggam pasir dan menaburkannya di atas lantai semen di depan makam.
"Berikan aku nomor keberuntunganku!" teriaknya lantang. Tangannya kembali mengucurkan kantong darah ke atas batang bambu. Ia menunggu sejenak. Tak ada reaksi apa pun. Ia membakar kemenyan lebih banyak, lalu butiran-butiran yang masih panas itu diambil dan ditaburkannya di atas makam. Kembali terdengar pekik kesakitan dari dalamnya.
Sekonyong-konyong angin dingin berhembus. Pepohonan di sekelilingnya bergoyang-goyang dan dedaunan kering jatuh berguguran.
Tiba-tiba dilihatnya pasir yang tadi ditaburkannya di lantai semen bergerak dan membentuk pola tertentu. Rasyid menyinari lantai dengan lampu senter agar dapat melihat lebih jelas.
"Tujuh... enam.... satu ..... sembilan....," gumamnya.
Ia merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan secarik kertas. Segera dicatatnya angka-angka tersebut.
"Terima kasih! Kini aku akan memberikan apa yang kau mau dan urusan kita selesai sampai di sini!" Ia membuka kantong darah terakhir yang dimilikinya dan menumpahkannya di atas batang bambu. Kemudian dicabutnya bambu tersebut dan dilemparkannya jauh-jauh.
*****
Pagi itu tidak seperti biasanya. Angin berhembus sangat kencang dan awan mendung bergulung-gulung di langit, membuat udara terasa dingin menusuk tulang.
Tapi itu bukan halangan bagi Rasyid untuk bangun lebih awal dari biasanya. Setelah berpamitan pada istrinya, ia bergegas pergi menuju kios kecil yang terletak beberapa blok dari tempat tinggalnya, di mana ia membeli beberapa lembar kupon undian pada hari sebelumnya.
Istrinya bingung melihat segala tingkah laku suaminya. Sudah beberapa hari ini suaminya bertingkah laku aneh. Tetapi semua pertanyaannya hanya dijawab dengan jawaban yang sama setiap kalinya.
"Kau tahu, aku selalu berusaha agar keadaan ekonomi keluarga kita membaik. Kau tahu kan, Sayang, kita tak ingin anak-anak kita kelak merasakan penderitaan yang selalu kita alami selama ini. Percayalah, aku melakukan ini semua demi anak-anak kita. Demi kita semua."
Tapi dengan jawaban yang selalu sama dan diulang-ulang itu, istrinya tetap tak mengerti apa sebenarnya yang menyibukkan suaminya beberapa pekan terakhir ini. Istrinya tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh. Ia percaya bahwa Rasyid, suaminya, adalah orang yang baik dan bertanggung jawab, dan tak akan melakukan hal-hal yang melanggar hukum.
Rasyid melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Ia sudah tak sabar lagi ingin segera sampai di kios itu. Akhirnya beberapa menit kemudian, bangunan mungil itu terlihat di depan matanya. Walaupun hari masih pagi, beberapa orang terlihat sudah mengerumui kios tersebut mendahuluinya. Mereka tampak antusias berdesak-desakan melihat ke arah papan pengumuman di mana terpampang nomor undian untuk minggu itu yang keluar beberapa jam sebelumnya.
Sialan, Rasyid mengumpat dalam hati. Ternyata orang-orang itu bangun lebih awal daripada aku sendiri. Atau mungkin, mereka tidak tidur semalaman? Dasar orang-orang bodoh! Mereka bangun pagi hanya untuk mendapatkan kekecewaan dan kekalahan. Rasyid menertawakan dalam hati.
Akhirnya Rasyid menginjakkan kakinya di kios itu. Beberapa orang tampak mengumpat-umpat sambil merobek kupon undian mereka. Rasyid menerobos kerumunan di depan papan pengumuman dan matanya segera tertuju pada angka-angka yang tertera di papan tersebut. Detik berikutnya ia bersorak.
Tujuh enam satu sembilan!
Setengah tak percaya ia segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar kupon undian. Dibukanya kupon yang tampak kumal itu dengan tergesa-gesa dan ia segera mencocokkan angka-angka yang tertera di atasnya untuk memastikan.
Jantungnya berdegup kencang. Semua angka yang tertera di kupon-kupon undian itu persis sama dengan angka yang tertera pada papan pengumuman!
Aku kaya! Kaya! Kaya! Hatinya bersorak gembira. Di benaknya terlintas barang-barang yang sudah lama diidam-idamkan keluarganya yang akan segera dibelinya. Kini ia memiliki cukup uang untuk membeli semua yang yang sudah lama diinginkannya. Tak ada lagi istilah 'meminjam' atau 'berhutang' pada tetangga dan keluarganya. Kini semuanya akan berubah total!
Rasyid benar-benar gembira hari itu. Belum pernah dalam hidupnya ia merasakan kegembiraan yang demikian besar!
*****
Kantor tempat Rasyid bekerja terlihat ramai seperti biasanya. Orang-orang yang hilir mudik menambah kesan kesemrawutan siang itu. Kebanyakan karyawan sedang sibuk di meja mereka masing-masing.
Begitu pula Rasyid. Tapi kesibukannya berbeda dengan staf yang lainnya. Ia sedang sibuk menghitung-hitung dengan kalkulatornya berapa uang yang dibutuhkannya untuk membeli mobil keluaran terbaru. Kendaraan yang selama ini setia menemaninya adalah sebuah motor tua, yang walaupun masih dalam kondisi baik, tetap tak dapat melindungi dirinya dan keluarganya dari terik sinar matahari dan terpaan hujan!
Ketika ia sedang asyik memijit-mijit tombol kalkulator di mejanya, tiba-tiba telepon genggam yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu berbunyi.
"Hah? Apa? Istriku sudah melahirkan?" katanya sambil bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya terlihat tegang.
"Baik, baik. Aku akan segera ke sana," Seketika Rasyid menyambar jaket dan kunci sepeda motornya. Kemudian ia berpaling pada pria yang ada di sebelahnya. "Aku harus pergi sekarang ke rumah sakit. Istriku melahirkan lebih cepat dari perkiraan dokter sebelumnya. Tolong titip, ya."
"Beres deh! Wah, selamat ya, Pak Rasyid. Anda sudah jadi ayah sekarang," temannya memberi selamat sambil tersenyum. Rasyid membalas senyumnya sambil bergegas meninggalkan kantor.
Lima belas menit kemudian sepeda motor hitamnya telah memasuki halaman rumah sakit tersebut. Setelah memarkir motornya, ia segera naik ke lantai dua tempat istrinya dirawat. Di sana telah menunggu kedua orang tuanya, mertuanya dan juga saudara-saudaranya yang lain. Mereka semua terlihat cemas. Ayahnya menghampirinya.
"Nak, cepatlah kau tengok istrimu."
"Apa dia baik-baik saja?"
"Ya, ya..." ayahnya menjawab ragu-ragu. Ibunya terlihat menangis tersedu-sedu. Sementara ibu dan ayah mertuanya diam membisu seribu bahasa. Demikian juga yang lainnya. Rasyid merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ia bertambah gelisah.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang dokter diikuti dengan dua orang perawat keluar dari ruangan tempat istrinya dirawat. Rasyid dan anggota keluarga yang lain tergesa-gesa menghampirinya.
"Bagaimana istri dan anak saya, Dok? Saya suami Bu Rasyid yang dirawat di ruang depan. Mereka tidak apa-apa kan, Dok?"
Dokter itu menghentikan langkahnya. Sejenak ia terdiam sambil membetulkan letak kaca matanya. Kemudian ia berkata,
"Istri anda sebenarnya baik-baik saja. Tapi ia syok melihat keadaan bayinya..."
"Memang, ada apa dengan anak saya? Kenapa dia?" Kecemasan meliputi wajahnya.
"Putra anda terlahir kurang sempurna. Kedua matanya rusak berat. Kemungkinan besar ia mengalami kebutaan total. Sewaktu lahir kami menemui dua buah batang bambu kecil menusuk dan menancap tepat pada kedua bola matanya. Kami sama sekali tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi dan dari mana datangnya kedua buah batang bambu tersebut." Dokter itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ia melanjutkan,"Saya turut menyesal, Pak Rasyid."
Tapi Rasyid tak mendengarnya. Pandangannya tiba-tiba kabur dan seluruh tubuhnya lemas.
Batang bambu? Tidak mungkin! Tidak mungkin!
"Tidak! Tidak!" Rasyid menjerit histeris sambil memegangi kepalanya. Apa yang telah diperbuatnya sehingga ia harus mengalami hal mengerikan seperti itu? Mengapa Tuhan memberikan semua cobaan ini kepadanya? Mengapa putranya yang tak bersalah dan tak mengerti apa-apa yang harus menanggung semuanya?
Rasyid tak bisa lagi menguasai dirinya. Tiba-tiba segalanya menjadi gelap dan ia ambruk menimpa meja kecil yang ada di dekatnya. Tangan kanannya luka tergores sudut meja kaca tersebut.
Beberapa menit kemudian ia siuman dan mendapati dirinya terbaring lemas. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Keluarganya memandangnya dengan cemas.
"Kau harus tabah menerima semua ini, Nak," ibunya berkata sambil terisak-isak. Matanya berkaca-kaca.
Rasyid terdiam. Ia tak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan apa yang telah diperbuatnya.
Andai mereka tahu apa yang telah diperbuatnya, ia mengeluh dalam-dalam.
Ya... andai mereka semua tahu apa penyebab semua ini.
Dan .....
Andai Rasyid tahu bahwa luka di tangan kanannya akan menimbulkan bekas menyerupai batang bambu. Bekas yang akan selalu meninggalkan kepedihan mendalam yang akan mengingatkannya seumur hidupnya.