"Teteskan darah kalian masing-masing ke dalam botol dan oleskan sebagian pada kertas putih kecil yang digulung dan dimasukkan ke dalam botol yang sama sebelum kalian sumbat erat dan kalian lempar ke laut lepas ..."
Kata-kata itu terus terngiang di telinga ketiga sahabat yang sedang berkumpul di sebuah warung setempat, tempat mereka biasa bertemu dan menghabiskan waktu setelah mereka satu per satu kehilangan pekerjaan beberapa waktu sebelumnya. Keadaan ekonomi sedang sulit waktu itu. Banyak perusahaan jatuh bangkrut dan terpaksa merumahkan ratusan bahkan ribuan karyawannya, termasuk Bjong, Vikram, dan Chui.
"Bagaimana pendapat kalian? Apakah kita sebaiknya mengikuti apa yang dikatakan wanita itu?" Bjong bertanya sambil mengepul-ngepulkan asap rokoknya.
"Entahlah. Aku sendiri masih ragu-ragu." Vikram menjawab pelan.
Chui yang selama ini hanya diam mendengarkan, ikut menimpali dan berkata,
"Tapi menurutku, tak ada salahnya jika kita mencoba melakukan hal itu. Tak akan ada ruginya, bukan?"
Bjong mengangguk-anggukkan kepalanya. Asap putih mengepul dari rokoknya yang sudah tinggal setengah. Kemudian ia menepuk punggung Chui.
"Baiklah. Kita akan melakukannya malam ini juga."
Chui tersenyum lega. Sementara itu Vikram tidak mengatakan apa-apa. Ia sebetulnya tidak begitu menyetujui usul temannya itu untuk mencari kekayaan dengan cara mistis. Tapi tak enak rasanya jika ia menentang dan menghalangi mereka. Selama ini mereka bertiga selalu bersama, baik dalam suka maupun duka. Dan malam ini, sekali lagi ia akan menjadi bagian dalam kebersamaan mereka.
****
Pagi itu warung ‘Furao’ terlihat ramai tak seperti biasanya. Para pelayan lalu lalang mengantarkan pesanan para tamu. Bjong dan kedua sobat kentalnya terlihat sedang bersantai sambil meminum kopi dan membaca koran di sudut ruangan. Hampir setiap hari mereka berkumpul-kumpul seperti ini semenjak perusahaan tempat mereka bekerja satu per satu jatuh bangkrut dan tak punya pilihan lain selain menutup usaha mereka.
Dahulu Bjong adalah seorang karyawan di suatu pabrik makanan instan milik Singh, temannya satu sekolah dulu. Dia sudah mulai bekerja di situ sejak perusahaan temannya tersebut masih belum berkembang dan Singh masih ke mana mana dengan sepeda tuanya.
Lama-kelamaan usaha Singh mulai berkembang, dan dia mulai sibuk mengembangkan usahanya yang tersebar hampir di seluruh penjuru Bangkok dan Phuket. Sepeda tua yang dulu ditungganginya pun sudah lama ditinggalkannya. Kini mobil keluaran terbaru selalu siap mengantarnya ke manapun ia pergi.
Sementara itu, keadaan Bjong masih sama seperti dahulu. Pergi ke tempat kerja milik temannya itu naik sepeda biru tua yang catnya sudah terkelupas di sana sini. Keadaan majikannya semakin lama semakin membaik dan makmur. Sementara Bjong sebagai bawahannya sudah harus bersyukur dengan gaji yang diterimanya setiap bulan yang hanya mencukupi untuk membiayai seorang istri dan ketiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.
Ketika keadaan perekonomian memburuk dan perusahaan Singh harus ditutup, Bjong hanya menerima sedikit sekali uang pesangon dari majikannya itu. Singh beralasan bahwa keadaan sangat buruk dan dia tidak mempunyai uang lebih untuk membayar Bjong, ataupun karyawan-karyawan lainnya. Bahkan ia pun terpaksa menjual beberapa perusahaannya untuk membayar hutang-hutangnya yang menumpuk.
Tapi seburuk-buruknya keadaan waktu itu, Bjong melihat bahwa Singh masih bisa makan di restoran mewah bersama keluarganya dan masih terlihat mengendarai mobil-mobilnya yang mewah. Bjong hanya bisa menghela napas sambil menggerutu mengingat keadaan waktu itu. Semiskin-miskinnya orang kaya, mereka masih dapat hidup mewah dan hidup enak!
“Gimana nih, sudah ketemu pekerjaan yang kau suka?” katanya sambil melirik Vikram yang duduk di sebelahnya sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin.
Vikram membolak-balik halaman koran yang sedang dibacanya. Ia sedang mencari pekerjaan baru yang sekiranya cocok dengan dirinya. Sesekali ia terlihat antusias. Tetapi beberapa saat kemudian ia mendesah kecewa.
"Susah amat! Ada beberapa pekerjaan yang sepertinya cocok dengan latar belakang pendidikanku, tapi mereka tak menerima orang-orang uzur seperti kita," keluhnya. "Mereka seharusnya lebih memprioritaskan orang berpengalaman seperti kita-kita ini."
"Kau seperti tak mengerti saja. Perusahaan kan lebih suka menggaji anak-anak muda yang baru lulus dan belum berpengalaman, karena mereka bersedia digaji rendah," Bjong berujar.
Chui mengangguk mengiyakan. "Betul katamu itu. Kalau begitu, bagaimana caranya kita mendapatkan uang untuk menghidupi keluarga kita jika kita tak memperoleh pekerjaan lagi?"
Semua terdiam. Mereka tahu bahwa mencari pekerjaan baru jauh lebih sulit daripada mempertahankan pekerjaan yang sudah ada. Itu pun tak dapat mereka lakukan ketika mereka kehilangan pekerjaan mereka beberapa waktu yang lalu. Mereka hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja tak sanggup lagi menggaji mereka dan mereka harus puas menerima pesangon yang tak seberapa.
Sekonyong-konyong keheningan mereka dipecahkan oleh suara seorang wanita yang datang dari arah belakang Bjong yang sedang duduk membelakangi jalan. Wanita yang sudah berumur namun masih terlihat cantik dan modis itu datang menghampiri mereka.
"Aku dapat memberitahu kalian bagaimana caranya menjadi kaya dengan mudah."
***
Ombak bergulung-gulung berdebur memecah pantai. Suaranya yang gemuruh diiringi jerit pekik burung-burung laut, menambah kesan misterius malam yang dingin itu.
Bjong, Vikram, dan Chui baru saja tiba di pantai berbatu itu. Tempat tersebut jarang dikunjungi orang, bukan saja karena tempat itu sangat terpencil, tapi juga karena ombaknya yang besar dan ganas membuat takut orang-orang yang ingin berenang di situ.
"Sepertinya inilah saatnya," Chui berkata sambil melirik arloji murah yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu tepat menunjukkan pukul dua belas malam.
Bjong mengeluarkan silet dari saku kemejanya dan ia membuat sayatan kecil pada ujung jari manisnya. Darah segar mulai menetes ke dalam botol kecil yang dipegang Vikram. Setelah dirasanya cukup, ia mengoleskan sedikit darahnya pada kertas kecil yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Chui dan Vikram melakukan hal yang sama. Mereka bergiliran menyayat sedikit ujung jari manis mereka dan membiarkan darah segar menetes ke dalam botol dan mengoleskan sedikit ke atas kertas.
Setelah semuanya selesai, Bjong memasukkan kertas yang sudah ternoda darah ke dalam botol yang berisi campuran darah ketiga orang itu. Ia kemudian menyumbat erat botol kecil itu dan berjalan menghampiri laut. Sementara kedua temannya menunggu di pantai.
Bjong berjalan semakin menjauhi daratan dan air pasang kini telah menggenangi pahanya. Tanpa ragu-ragu ia melemparkan botol itu jauh-jauh ke tengah laut.
***
Hari sudah menjelang pagi. Semburat sinar mentari menaburkan kilau keemasannya di permukaan laut yang terlihat tenang.
Bjong dan kedua temannya tampak masih terlelap. Gemerisik dedaunan dan ranting pohon di atas mereka perlahan memaksa Vikram membuka matanya, dan kemudian segera membangunkan Bjong dan Chui yang masih terhanyut dalam mimpi mereka masing-masing.
Beberapa menit kemudian mereka bertiga terlihat berjalan-jalan di tepi pantai. Mereka tampak seperti sedang mencari sesuatu. Setelah beberapa saat Chui berseru kegirangan memanggil kedua orang temannya.
"Aku menemukannya! Lihat, bukankah ini botol yang tadi malam kita lempar ke tengah laut? Kita telah menemukannya!"
Teman-temannya segera menghampirinya. Vikram mengambil botol tersebut dan melihatnya dengan seksama. "Ya, betul! Tapi tidak ada darah lagi di dalamnya, walaupun kertas itu masih ada. Botol ini tidak mungkin bocor karena kertas ini tampak masih kering."
Tiba-tiba perasaan aneh mulai menyelimuti dirinya.
Bjong tidak sabar lagi. Direbutnya botol itu dari tangan Vikram dan segera dibukanya sumbat botol tersebut. Teman-temannya menahan napas ketika Bjong mengeluarkan kertas dari dalam botol dan membuka gulungannya.
Tak ada lagi noda darah pada kertas itu. Kertas itu tampak putih bersih. Bjong menghampiri tepi laut dan ia membungkuk, membiarkan ombak laut menjilati kertas itu.
Beberapa saat kemudian hal yang paling mustahil terjadi di depan ketiga pasang mata para sahabat itu.
Pelan namun pasti, empat buah angka mulai terlihat di atas kertas yang semula putih bersih.
Lima ... empat ... satu ... enam.
Chui dan Bjong bersorak gembira. Mereka segera mencatat angka-angka tersebut, sementara Vikram hanya diam mematung. Semua hal itu membuat perasaannya tak enak.
***
Bjong dan Chui segera membuka halaman koran bagian tengah. Tampang mereka serius sekali. Kemudian mata mereka tertuju pada sebuah kolom kecil di pojok kanan atas.
Lima ... empat ... satu ... enam!
Mereka saling berpandangan. Senyum licik penuh kemenangan terukir di wajah mereka sebelum akhirnya mereka berteriak gembira dan saling berpelukan. Impian mereka selama ini untuk memperoleh kekayaan yang mereka inginkan kini tampak di depan mata. Mobil mewah… vila… jalan-jalan ke luar negeri…emas… berlian…
***
Orang-orang menutup hidung ketika polisi mengangkat jenasah salah satu putra Bjong yang hilang dari dalam air, sebelum kemudian memasukkannya ke dalam ambulans yang diparkir di tepi pantai. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Tubuhnya membengkak dan tak utuh lagi dengan disertai luka di sana sini. Mungkin akibat dimakan binatang laut, setelah menghilang selama beberapa hari sebelumnya sewaktu berenang di perairan lepas bersama adiknya, yang sampai saat ini jasadnya masih belum ditemukan.
Beberapa hari kemudian, istrinya yang tak kuat mengalami penderitaan ini, ditemukan telah tewas tak bernyawa mengambang di permukaan sungai dengan kepala hancur hampir tak berbentuk dan tubuh memar di sana sini akibat benturan benda keras di sekitar sungai. Orang-orang sebelumnya melihat wanita malang ini berjalan mondar-mandir dengan pandangan hampa sesaat sebelum akhirnya memanjat ke atas pagar jembatan dan terjun bebas ke sungai sehingga kepalanya luka parah terbentur pagar pembatas. Perhiasan-perhiasan mahal masih melekat di tubuhnya ketika orang-orang menemukannya di sungai.
Bjong sangat terpukul dengan semua ini dan ia harus menghuni rumah sakit jiwa. Beberapa orang perawat kerap kali memergokinya sedang melempar-lemparkan botol kosong ke dalam bak air sambil berteriak dan tertawa-tawa.
Chui tersiram air panas sewaktu sedang memasak dan sekujur tubuhnya melepuh. Ia dirawat selama beberapa hari di rumah sakit setempat. Tapi lukanya yang parah telah menimbulkan infeksi dan berbagai penyakit komplikasi lainnya, sehingga ia tak dapat bertahan lagi dan menghembuskan napas yang terakhir.
Vikram yang tak sepenuhnya mengikuti permainan maut kedua temannya tak luput dari musibah. Secara tiba-tiba saja ia terpeleset sewaktu menyeberang di jalan raya. Sebuah mobil yang melintas tak bisa lagi menghindarinya dan menggilas kedua kakinya hingga hancur. Ia akhirnya selamat setelah seseorang melihat kecelakaan tersebut dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat.
Tak seorang pun mengetahui mengapa ketiga sahabat ini mengalami musibah yang sangat mengerikan secara hampir bersamaan. Dan semua musibah yang menimpa mereka disebabkan oleh air, yang telah memberikan apa yang mereka inginkan, dan yang menuntut imbalan atas apa yang telah mereka peroleh.
Ke sanalah mereka telah mengantarkan darah mereka. Dan dari sana pulalah siulan kematian itu mengalun.